OLEH: Novita Puspasari
"Model ini mungkin adalah jawaban yang selama ini kita tunggu-tunggu. Koperasi konsumen fokus pada konsumennya, koperasi produsen hanya pada produksinya, dan koperasi simpan pinjam hanya terkait permodalannya. Kalau ada uang, bisa produksi, tapi tidak bisa menjual, kan koperasinya tidak berjalan. Begitu juga jika ada konsumen, tapi kesulitan modal, bagaimana mau memproduksinya? Kita perlu model koperasi yang bisa mengintegrasikan dari hulu ke hilir."
ITU testimoni yang saya peroleh dari Koperasi Multi-Pihak (KMP) di Bali ketika ditanya mengapa memilih model multi-pihak. Mereka telah mencoba kembangkan aneka jenis koperasi. Seperti koperasi produksi dan koperasi simpan pinjam yang menunjang sektor pertanian. Namun mereka merasa ada yang belum optimal dari model-model tersebut.
Ketakpuasan terhadap model koperasi yang ada membuat mereka dengan senang hati menyambut model KMP. Padahal model ini relatif baru di Indonesia dan belum ada contoh suksesnya. Kemenkop UKM baru terbitkan regulasinya per Oktober 2021, dalam bentuk Permenkop UKM No. 8 Tahun 2021 tentang Koperasi dengan Model Multi Pihak. Jadi apa sebenarnya KMP yang membuat komunitas petani Bali mau mencobanya? Bagaimana peluang serta tantangannya di sektor pertanian?
KMP adalah model koperasi yang melibatkan lebih dari satu kelompok anggota. Menurut International Labour Organization (ILO), dalam KMP, setiap kelompok anggota memiliki perwakilan dalam tata kelola koperasi. Tidak ada kelompok anggota yang mendominasi keputusan dengan mayoritas suara atau hak veto eksklusif. Dalam KMP, kelompok anggota dapat dibagi berdasarkan kontribusi mereka, seperti kelompok pengguna, pekerja, dan pendukung (Lund & Novkovic, 2023; Lund, 2011). Pengguna bisa terdiri dari konsumen atau produsen, pekerja mencakup karyawan yang bekerja untuk KMP, dan pendukung melibatkan pemodal dan pemangku kepentingan lain yang memiliki ketertarikan terhadap koperasi.
Model KMP dapat diimplementasikan dalam berbagai sektor dan model bisnis. Salah satu contoh menarik adalah KMP yang bergerak di sektor pertanian, di mana berbagai kelompok pemangku kepentingan di sektor ini berkontribusi dalam pengelolaan koperasi untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Ajates (2018), KMP dalam sektor pertanian memiliki perbedaan dengan model koperasi pertanian tradisional yang lebih mengedepankan peran petani sebagai produsen. Dalam konteks KMP, pemangku kepentingan yang terlibat bukan hanya petani sebagai produsen, melainkan juga konsumen, pemasar, dan aktor lain dalam ekosistem pertanian.
Penelitian yang dilakukan Ajates (2017; 2018; 2021) di Spanyol dan Inggris menunjukkan bahwa model KMP mampu mendukung sektor pertanian yang berkelanjutan dengan melibatkan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan di rantai nilai industri tersebut. Sementara studi yang dilakukan oleh Zhao & Gijselinckx (2011) mengenai KMP di pedesaan China menunjukkan bahwa KMP dalam sektor pertanian dapat menjadi solusi alternatif untuk mengatasi "trilema koperasi." Istilah ini merujuk pada kesulitan koperasi pertanian tradisional dalam menyeimbangkan tuntutan pasar, negara, dan masyarakat sipil secara bersamaan. KMP di sektor pertanian China mampu mengatasi kendala modal yang dihadapi koperasi tradisional, terutama dalam menghadapi lingkungan yang kompetitif, dengan mengadopsi proses diversifikasi sebagai langkah strategis.
Peluang Dalam ranah antropologi, muncul konsep menarik - yaitu "ruang ketiga," sebuah domain yang tidak sepenuhnya bersifat privat maupun publik. Menurut Ajates (2021), KMP beroperasi di “ruang ketiga” dan karakteristik unik ini memberikan keunggulan kompetitif yang sulit ditiru oleh pemain lain di sektor pertanian. Ruang ketiga ini juga dapat diartikan bahwa KMP berada di antara ranah koperasi pertanian tradisional di satu sisi dan pelaku swasta di sisi lain. Salah satu peluang dari KMP di sektor pertanian adalah potensinya untuk membentuk sistem pertanian yang lebih berkelanjutan dan adil dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk produsen, konsumen, dan pihak-pihak lainnya.
Bahkan, di negara lain KMP juga dapat merangkul pemangku kepentingan yang ada di ranah publik dan privat, seperti pemerintah maupun swasta. Ajates (2018) menemukan bahwa KMP memainkan peran penting dalam menjembatani kesenjangan antara produsen dan konsumen. Dengan membangun hubungan langsung dan mempromosikan transparansi serta kepercayaan di antara kelompok anggota. KMP berkontribusi menciptakan komunitas pertanian yang lebih terhubung dan kolaboratif. Berbeda dengan koperasi pertanian tradisional, di mana hierarki manajerial sering mencerminkan perusahaan swasta dan petani memiliki hubungan yang lebih pasif dengan koperasinya.
Hal itu seperti hanya hadir dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) dan berjarak dari pengelolaan koperasi. Sedangkan temuan di lapangan, KMP di sektor pertanian lebih inklusif. Model KMP, menurut Ajates (2017), membangun rasa kepemilikan yang kuat di antara anggotanya. Selain itu, Zhao dan Gijselinckx (2011) menyatakan bahwa KMP di China dapat memobilisasi sumber daya dari berbagai pemangku kepentingan. Sumber daya ini, mulai dari modal hingga keterampilan, dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sektor pertanian yang lebih berkelanjutan dan inklusif melalui KMP, mengatasi isu-isu seperti trilema koperasi di atas. Di Indonesia, KMP sektor pertanian berpeluang tumbuh dengan melihat data saat ini ada 13.173 koperasi yang aktif dalam sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Bayangkan potensinya jika mereka adopsi model multi-pihak.
Berapa banyak pihak dalam rantai nilai yang dapat terlibat sebagai kelompok anggota di KMP. Seberapa besar mobilisasi sumber daya yang dapat terjadi dan seberapa besar manfaat yang dapat diperoleh dari kolaborasi ini. Semua ini, tentu saja, dilakukan dalam koridor prinsip koperasi: demokratis dan adil. Tantangan Selain berbagai peluang di atas, penelitian yang dilakukan oleh Ajates (2017; 2018; 2021) dan Zhao serta Gijselinckx (2011) menemukan sejumlah tantangan yang dihadapi oleh KMP di sektor pertanian.
Tantangan-tantangan ini tidak hanya spesifik bagi KMP di sektor pertanian, melainkan juga mencakup KMP secara umum. Pertama, KMP menghadapi kompleksitas dalam tata kelola dan pengambilan keputusan. Melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan sudut pandang yang berbeda tentu membawa tingkat kompleksitas tinggi. Dalam hal ini, Ajates (2021) menyoroti bahwa tantangan ini dapat diatasi melalui penerapan pendekatan pengelolaan jaringan refleksif. Caranya seperti penggunaan pembobotan dalam pemungutan suara atau pembobotan dalam perwakilan pengurus untuk menghindari konsentrasi kekuasaan pada satu kelompok anggota.
Beberapa KMP di Indonesia telah mengadopsi pendekatan ini dengan mempertahankan mekanisme one man, one vote pada Rapat Anggota Kelompok. Di sisi lain memberlakukan pembobotan hak suara pada Rapat Anggota Paripurna. Tantangan kedua, menurut Lund (2011), adalah menentukan proporsi pembagian sisa hasil usaha (SHU) koperasi. Jika di koperasi tradisional, distribusi SHU menggunakan prinsip patronage refund, di mana semakin besar partisipasi anggota pada koperasi, maka semakin besar SHU-nya. Namun di KMP misalnya, masing-masing kelompok anggota memiliki partisipasi yang berbeda-beda. Anggota petani berpartisipasi memasok produk pertanian, anggota pekerja berpartisipasi dalam mengelola operasional KMP, anggota konsumen berpartisipasi dalam membeli produk koperasi, dan lain sebagainya.
Maka tantangannya adalah mengukur partisipasi tiap kelompok anggota secara berkeadilan. Di tengah peluang dan tantangan yang dihadapi, eksperimen kolaboratif KMP di sektor pertanian tetap menarik untuk diikuti. Keberhasilannya akan bergantung pada kemampuannya mengelola keberagaman dan menjembatani kesenjangan antarkelompok anggota.
Sembari kemudian menciptakan ruang untuk pertumbuhan usaha berkelanjutan dan inklusif di industri tersebut. Tantangan ini tentu tidak mudah, terutama mengingat model KMP masih dalam tahap awal adopsi di Indonesia. Proses evaluasi mungkin baru akan memberikan gambaran jelas dalam rentang waktu lima tahun mendatang. Sehingga terjawab apakah KMP dapat menjadi solusi seperti yang dibayangkan komunitas petani Bali seperti di atas benar-benar terjadi. *Anggota Dewan Pakar ICCI, kandidat doktor di Faculty of Business and Economics, Monash University, Australia dan sedang meneliti model koperasi multi pihak di Indonesia
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Peluang dan Tantangan Koperasi Multi Pihak Sektor Pertanian", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2023/11/24/110831626/peluang-dan-tantangan-koperasi-multi-pihak-sektor-pertanian?page=all.
Editor : Sandro Gatra